Daniel Mananta Ungkap Alasan Tolak Daftarkan Anaknya ke Sekolah Internasional yang Punya 3 Jenis Toilet: Teguh pada Nilai Keluarga
Daniel Mananta dikenal luas sebagai presenter, aktor, dan pengusaha sukses Indonesia. Namanya melejit lewat ajang pencarian bakat Indonesian Idol, namun ia juga dikenal sebagai sosok yang memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan. Beberapa tahun terakhir, Daniel lebih banyak berbicara di ranah spiritual, identitas, dan keluarga.
1.2 Figur Ayah yang Teguh
Sejak memiliki anak, Daniel sering berbicara tentang pentingnya peran orang tua dalam membentuk karakter anak. Baginya, pendidikan bukan hanya soal akademik, tapi juga nilai, keyakinan, dan identitas.
Dalam berbagai wawancara, Daniel menegaskan bahwa ia ingin anak-anaknya tumbuh dengan fondasi nilai yang kuat dan tidak terombang-ambing oleh arus zaman yang dianggapnya “terlalu liberal.”

Bab 2: Sekolah Internasional dan Tiga Jenis Toilet
2.1 Kebijakan Toilet Inklusif
Kebijakan tiga jenis toilet—pria, wanita, dan non-biner—mulai diadopsi sejumlah sekolah internasional di Indonesia, khususnya yang menggunakan kurikulum global seperti IB (International Baccalaureate) atau Cambridge. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan inklusif bagi siswa yang mengidentifikasi diri di luar kategori gender konvensional.
2.2 Sekolah yang Ditolak Daniel
Daniel mengungkapkan bahwa dirinya sempat mempertimbangkan sebuah sekolah internasional ternama di Jakarta Selatan untuk anaknya. Namun, setelah mengetahui bahwa sekolah tersebut menerapkan sistem toilet dengan tiga jenis kategori, ia memutuskan untuk mundur.
“Menurut saya pribadi dan istri, itu bukan nilai yang kami ingin tanamkan ke anak kami. Ini bukan tentang benci, ini tentang kejelasan arah pendidikan anak,” ujar Daniel.
Bab 3: Alasan Ideologis dan Perspektif Keluarga Daniel
3.1 Pegangan Nilai Tradisional
Daniel menganggap bahwa sistem toilet non-biner bukan sekadar fasilitas fisik, tapi juga bagian dari ideologi yang ingin ditanamkan. Menurutnya, hal tersebut bisa membuka ruang kebingungan gender bagi anak-anak yang masih dalam fase pertumbuhan identitas.
“Buat kami, laki-laki ya laki-laki, perempuan ya perempuan. Itu bukan benci, itu kejelasan. Dan kami percaya, anak butuh itu,” tegas Daniel.
3.2 Tidak Anti Inklusivitas
Meski menolak sistem toilet non-biner, Daniel mengatakan bahwa ia tidak membenci siapapun yang memiliki orientasi atau identitas berbeda. Ia hanya ingin memiliki otonomi sebagai orang tua untuk memilih lingkungan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai yang ia yakini.
Bab 4: Reaksi Publik dan Dunia Pendidikan
4.1 Dukungan dari Kalangan Konservatif
Banyak netizen, khususnya dari kalangan konservatif dan religius, mendukung sikap Daniel. Mereka menilai langkah Daniel sebagai bentuk keberanian di tengah tren liberalisasi yang dianggap merusak tatanan sosial.
“Daniel mewakili suara orang tua yang selama ini diam. Kami butuh lebih banyak figur publik seperti dia,” tulis seorang warganet.
4.2 Kritik dari Aktivis Inklusivitas
Di sisi lain, aktivis gender dan pendidikan inklusif menilai pernyataan Daniel bisa memunculkan stigma terhadap siswa LGBTQ+ dan membuat lingkungan pendidikan semakin tidak aman bagi mereka.
“Sekolah harus menjadi tempat aman bagi semua anak. Inklusivitas bukan ancaman, tapi upaya memahami perbedaan,” ujar seorang aktivis pendidikan dari Jakarta.
Bab 5: Perspektif Ahli Pendidikan dan Psikologi Anak
5.1 Psikolog: Perlu Komunikasi Terbuka
Menurut psikolog anak dan remaja, keputusan Daniel bisa dipahami sebagai bentuk tanggung jawab orang tua terhadap nilai keluarga. Namun, penting juga untuk membuka ruang diskusi agar anak-anak bisa menghadapi kenyataan dunia yang lebih luas secara sehat.
“Menolak sesuatu itu boleh, tapi orang tua juga perlu membekali anak dengan pemahaman agar mereka tidak tumbuh dengan rasa takut atau prasangka,” kata Dr. Hani Kumala, psikolog anak dari UI.
5.2 Pakar Kurikulum: Pendidikan Global Tidak Sama dengan Ideologi
Dr. Ade Wijaya, pakar kurikulum internasional, menjelaskan bahwa kehadiran toilet non-biner bukan bagian dari ideologisasi, tetapi pemenuhan terhadap kebutuhan siswa yang mengalami disforia gender atau identitas yang berbeda.
“Ini soal kenyamanan dan keamanan. Sekolah internasional banyak menerima siswa dari latar belakang budaya yang sangat beragam,” ujarnya.
Bab 6: Perbandingan Global dan Praktik Inklusivitas
6.1 Di Negara Barat
Sekolah-sekolah di Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Eropa sudah mulai mengadopsi toilet non-biner sejak 2015. Hal ini didorong oleh gerakan hak-hak transgender dan keputusan hukum yang melindungi ekspresi gender.
6.2 Praktik di Asia
Di Asia, kebijakan ini masih kontroversial. Di Jepang dan Korea Selatan, sekolah cenderung menolak perubahan tersebut. Di Indonesia, hanya segelintir sekolah internasional yang mengadopsi toilet non-biner, dan itu pun biasanya tidak dipublikasikan secara luas.
Bab 7: Hak Orang Tua vs Hak Anak dan Lembaga Pendidikan
7.1 Otonomi Orang Tua
Daniel menekankan bahwa sebagai orang tua, ia berhak menentukan pendidikan anaknya. Ia menolak narasi bahwa penolakan terhadap kebijakan toilet non-biner otomatis berarti diskriminasi.
“Kalau saya tidak mau anak saya dididik dengan cara tertentu, bukan berarti saya membenci cara itu. Saya cuma ingin yang terbaik versi kami,” kata Daniel.
7.2 Hak Anak untuk Tumbuh dalam Inklusivitas
Namun, ada argumen bahwa anak juga berhak untuk tumbuh di lingkungan yang mendukung semua identitas dan perbedaan. Sekolah diharapkan bisa menciptakan lingkungan aman, bebas dari diskriminasi.
Bab 8: Polemik Pendidikan Liberal di Indonesia
8.1 Arus Globalisasi dan Kurikulum Inklusif
Kurikulum internasional sering kali dianggap membawa nilai-nilai Barat yang belum tentu sesuai dengan budaya Indonesia. Salah satu contohnya adalah pembelajaran tentang gender spektrum, identitas diri, dan hak-hak minoritas seksual.
8.2 Penolakan dan Respons Masyarakat
Di Indonesia, penolakan terhadap pendidikan liberal cukup kuat. Beberapa kelompok masyarakat menyerukan agar pemerintah mengawasi ketat kurikulum sekolah internasional, terutama dalam hal nilai dan moral.
Bab 9: Jalan Tengah: Mungkinkah?
9.1 Ruang Dialog
Kasus Daniel membuka ruang diskusi tentang bagaimana pendidikan bisa tetap menghargai keberagaman tanpa mengorbankan nilai-nilai keluarga. Jalan tengah bisa dicapai melalui komunikasi terbuka antara sekolah dan orang tua.
9.2 Sistem Pendidikan Berbasis Pilihan
Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memberikan variasi sistem pendidikan yang bisa dipilih orang tua sesuai dengan keyakinan dan prinsip masing-masing—baik yang inklusif maupun yang lebih tradisional.
Bab 10: Kesimpulan – Menjaga Anak dalam Arus Perubahan Zaman
Pernyataan Daniel Mananta menolak mendaftarkan anaknya ke sekolah internasional yang menerapkan tiga jenis toilet bukan sekadar isu fasilitas, tetapi mencerminkan perdebatan ideologis yang lebih luas: antara nilai keluarga dan inklusivitas global, antara tradisi dan modernitas, antara perlindungan identitas dan keragaman ekspresi.
Apakah tindakan Daniel adalah bentuk keteguhan prinsip atau ketakutan terhadap perubahan? Itu tergantung pada kacamata siapa yang melihat.
Namun satu hal yang pasti, orang tua berhak memilih jalan pendidikan untuk anaknya. Dan dunia pendidikan pun harus siap membuka ruang diskusi, agar anak-anak—siapapun mereka, dari keluarga manapun mereka berasal—tetap bisa tumbuh di lingkungan yang membentuk karakter, bukan memecah belahnya.